Disediakan Oleh: Siti Zunairah Binti Ismail
No Siri: 071
Dalam kehidupan, manusia sering kali
dihadapkan pada suatu masalah yang memaksanya untuk memilih, apakah
menghadapinya dengan penuh ketenangan atau menyingkapinya dengan amarah dan
penuh emosi.
Secara etimologis, kata ‘emosi’ adalah
terjemahan dari bahasa Arab, al-ghadhab. Dalam Alquran, kata al-ghadhab, dengan
perubahan bentuk kata, jumlahnya tak kurang dari 24 kali. Dari sekian banyak ayat
tersebut, kata al-ghadhab lebih banyak dikaitkan kepada Allah sebagai Sang
Khalik. Hanya sedikit ayat yang mengaitkan al-ghadhab dengan manusia. Itu pun
bukan terhadap manusia biasa, tetapi terhadap Nabi Musa AS. “Dan, tatkala Musa
telah kembali kepada kaumnya, dengan marah dan sedih hati, ia pun berkata,
‘Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku.’” (QS
al-A’raf [7]: 150).
Dalam ayat itu, disebutkan pula bahwa Nabi
Musa sempat menarik rambut saudaranya sendiri, Nabi Harun, karana sedang marah dan emosinya. Tentang sikap marahnya
Nabi Musa, juga diabadikan dalam surah Taha [20]: 86 dan tentang redanya emosi
tersebut juga diabadikan dalam surah al-A’raf [7]: 154.
Diceritakan dalam sebuah hadis bahwa
seorang sahabat datang tergopoh-gopoh menghadap Nabi SAW untuk meminta nasihat.
Nabi menjawab, “La taghdhab”, hindari sikap marah (emosi). Nabi SAW mengulangi
nasihatnya sebanyak tiga kali.
Hadis ini cukup menjadi bukti bahwa manusia
sering kali terjebak dalam keadaan emosi atau marah yang berkepanjangan hingga
tidak ada peluang bagi orang lain untuk meminta maaf. Karena itu, wajar bila
Nabi SAW mengulangi nasihatnya sebanyak tiga kali.
Bagaimana menguasai marah atau emosi? Nabi
SAW pernah memberikan petunjuk. “Jika kamu marah dalam keadaan berdiri,
duduklah. Jika kamu masih marah, padahal sudah dalam keadaan duduk,
berbaringlah. Jika kamu masih marah, padahal sudah dalam keadaan berbaring,
segera bangkit dan ambil air wudu untuk bersuci dan lakukan solat sunah dua
rakaat.”
Betapa bijaknya nasihat Rasul SAW di atas.
Sebab, ketika manusia sedang marah, ia mengalami dua hal. Pertama, ketegangan
saraf, terutama saraf otak. Kedua, dirinya sedang bergelut dengan sebuah
kekuatan hawa nafsu yang dahsyat. Dalam pandangan agama, hawa nafsu itu dipersonifikasikan
dengan kekuatan syaitan.
Maka, ajaran Nabi SAW tentang perubahan
gerakan fizikal dari berdiri kepada duduk dan dari duduk kepada berbaring
bertujuan untuk melenturkan dan meredakan
ketegangan saraf otak dan saraf-saraf lainnya. Jika gerakan fizikal juga
tidak mampu meredakan emosi, Nabi SAW berpesan agar segera berwudu’ dan
mendirikan solat dua rakaat. Tujuannya, segera berlindung kepada kekuatan Allah
untuk mengusir kekuatan syaitan yang terbungkus dalam bentuk sikap marah dan
emosi. Wa Allahu A’lam.
No comments:
Post a Comment