NAMA:SITI
NOR NAJWA BINTI FAUZI
NO. SIRI :
070
Pernahkah Anda
merenungi makna hidup dan kehidupan yang Anda jalani selama ini?
Pernahkan tertanya- tanya dalam jiwa
tentang apa, bagaimana dan untuk apa kita menjalani kehidupan ini?
Ya, hidup dan
kehidupan adalah hal yang mestinya kita maknai dengan penuh hikmah.
Karena pasti, bahwa Tuhan tidak akan
menganugerahkan kehidupan kepada kita untuk sesuatu yang tidak berarti sama
sekali!
Tulisan Anis Matta berikut ini
mungkin bisa menjadi bahan renungan bagi kita, betapa kehidupan perlu diisi
untuk memberinya makna. Judul artikel aslinya adalah “As-Sibaq (berlumba)“.
Hidup adalah masa karya. Setiap kita diberi
rentang waktu, yang kemudian kita sebut umur, untuk berkarya.
Harga hidup
kita, di mata kebenaran, ditentukan oleh kualiti karya kita.
Maka sesungguhnya waktu yang berhak itu, sebagai
umur kita adalah sebatas waktu yang kita isi dengan karya dan amal. Selain itu,
ia bukan milikmu.
Itulah undang-undang kebenaran tentang
hakikat waktu. Kita bukan waktu yang kita miliki. Tapi kita adalah amal yang
kita lakukan.
Dalam relung hakikat itulah Allah SWT
menurunkan titah-Nya untuk ‘berpacu’ dan ‘berlomba’ dalam medan kehidupan (as-Sibaq).
Hidup ini adalah jalan panjang yang harus
kita lalui. Tak satupun diantara kita manusia,yang mana kehidupan itu memberitahu
dimana dan bila ia harus berhenti. Sebab
tempat perhentian pertama yang engkau berhenti adalah ajalmu. Akhir masa
karyamu.
Begitulah para sahabat dan semua manusia
muslim yang agung dan besar yang pernah hadir di pelataran sejarah, memahami
makna waktu dan hidup, serta melaluinya dengan semangat perpacuan yang tak
pernah dapat digoda oleh kelelahan.
Apa yang mereka pakai
adalah kendaraan jiwa yang seluruh muatannya adalah makna hidup itu sendiri,
serta kehendak yang telah terwarnai oleh makna itu. Tak ada ruang kosong dalam
kendaraan jiwa mereka yang tak terisi oleh kehendak.
Perjuangan, bagi manusia-manusia agung itu,
adalah sebuah kehidupan yang kuat. Dalam diri mereka. Sebab, kata sastrawan Mesir, Musthofa
Shodiq Ar-Rofi’i, “Rupanya perjuangan itu mempunyai agenda yang sanggup
mengubah seluruh kehidupan ini menjadi kemenangan. Sebab setiap anak fikirkan
yang hingga disitu, selalu ada langsungnya menjelma jadi pembunuh-pembunuh
kekalahan”.
Mengeluh, dalam perjuangan mereka, hanyalah
yang hendak merayu benteng obsesi mereka. Kelelahan, dalam tradisi keagungan
mereka, bagai sebatang lilin yang ingin menghisap gelombang.
Semua yang ada di permukaan bumi ini adalah
tanah tempat kaki kebesarannya mengayuh setiap langkah melewati hari-hari.
Dalam semangat perpacuan itu, semua
tantangan yang mereka temui hanya berfungsi melahirkan bakat-bakat baru,
kecerdasan-kecerdasan baru, kehendak-kehendak baru.
Inilah rahasia besar yang menyingkap tabir
kebesaran sahabat, tabi’in serta ulama dan mujahidin besar yang pernah mengguriskan
tinta emas dalam sejarah Islam kita.
Banyak diantara mereka yang syahid dalam
usia yang teramat muda. Imam al-Ghazali meninggal dalam usia 45 tahun, Umar bin
Abdul Aziz dalam usia 39 tahun, dan Hasan al Banna dalam usia 41 tahun. Tapi
‘usia’ mereka bagai memanjang mengikuti rentang panjang keabadian.
“Sebab ketika jiwa itu kosong, fikirannya
akan lebih kosong. Ia akan terus mencari semua yang akan membuatnya lupa pada
sang jiwa. Sedang manusia agung itu, hidup penuh sepenuh jiwanya,” kata
Musthofa Shodiq Ar-Rofi’i.
No comments:
Post a Comment