NAMA:JUHADA AKILA BINTI ABDUL HADI
NO.MATRIK:14021172
NO.SIRI:021
Bersaudara tak
mesti sedarah…
Bersaudara tak harus serumah…
Bersaudara bukan soal daerah…
Karena persaudaraan yg benar adalah atas dasar ukhuwah islamiyyah…
Kita dipersaudarakan oleh Allah yg kita sembah…
Kita bersaudara karena Rasulullah yg menyampaikan hidayah…
Adakah persaudaraan yg lebih indah dari persaudaraan karena Allah?
Bersaudara tak harus serumah…
Bersaudara bukan soal daerah…
Karena persaudaraan yg benar adalah atas dasar ukhuwah islamiyyah…
Kita dipersaudarakan oleh Allah yg kita sembah…
Kita bersaudara karena Rasulullah yg menyampaikan hidayah…
Adakah persaudaraan yg lebih indah dari persaudaraan karena Allah?
”sebuas-buasnya harimau tak akan makan anak sendiri.” mungkin kita sudah tidak asing dengan pepatah di atas. Sang raja
hutan yang terkenal buas yakni harimau tidak akan memakan anaknya sendiri,
bahkan dia akan rela mati-matian untuk melindungi anaknya sendiri. Hal ini
seolah menunjukan betapa kuatnya ikatan biologis dari harimau dan anaknya
tersebut.
Pun demikian hal nya dengan manusia. Kedua orang tua tentu akan
melindungi dan mendidik buah hati mereka agar menjadi manusia yang berguna bagi
manusia sekitarnya. Hal ini karena adanya ikatan yang mengikat diantara mereka,
yakni ikatan darah, atau ikatan biologis.Namun, ikatan tersebut bukanlah ikatan
yang kuat. Bukanlah ikatan yang sempurna. Bagaimana kita bisa melihat fakta di
masyarakat banyaknya anak yang tidak lagi menurut kepada keyakinan orang tuanya
ketika dia berpindah keyakinan.
Dalam sirah nabawiyah pun kita bisa melihat bagaimana sahabat yang
lebih memilih Islam sebagai aqidah yang mengikat diri mereka, daripada
keluarga, meskipun keluarga mereka sendiri bersumpah akan memutuskan
silaturahim tali keluarga!
Lihatlah bagaimana sosok mus’ab bin umar sang muqarri’ madinah,
yang lebih memilih Islam daripada keluarga nya. Ia rela hijrah ke Madinah,
menjadi duta Rasulullah saw untuk menyampaikan risalah Islam di kota
tersebut.Mush’ab bin Umair bukan sembarang lelaki. Ketika di masa jahiliyyah,
ia dikenal sebagai pemuda dambaan kaum wanita. Ia adalah seorang pemuda ganteng
yang dikenal sangat perlente. Bila ia menghadiri sebuah perkumpulan ia segera
menjadi magnet pemikat semua orang terutama kaum wanita. Gemerlap pakaiannya
dan keluwesannya bergaul sungguh mempesona. Namun sesudah memeluk Islam,
ia berubah samasekali.
Pada suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang muslimin yang sedang duduk sekeliling Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam. Demi memandang Mush’ab, mereka sama menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah karena duka. Mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang yang bertampal–tampal, padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka – pakaiannya sebelum masuk Islam – tak ubah bagaikan kembang di taman, berwarna-warni dan menghamburkan bau yang wangi. Adapun Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam, menatapnya dengan pandangan penuh erti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati, pada kedua bibirnya senyuman mulia seraya bersabda : “Dahulu saya lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Pada suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang muslimin yang sedang duduk sekeliling Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam. Demi memandang Mush’ab, mereka sama menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah karena duka. Mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang yang bertampal–tampal, padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka – pakaiannya sebelum masuk Islam – tak ubah bagaikan kembang di taman, berwarna-warni dan menghamburkan bau yang wangi. Adapun Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam, menatapnya dengan pandangan penuh erti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati, pada kedua bibirnya senyuman mulia seraya bersabda : “Dahulu saya lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.”
kita melihat bagaimana kuatnya
ikatan yang mengikat antara sahabat Nabi Muhammad saw. Lihatlah bagaimana
meleburnya sahabat Abu Bakar yang Arab dengan Salman yang berasal dari Persia
dengan Bilal yang orang Ethiopia dengan Shuhaib yang berasal dari bangsa
Romawi. Mereka menjalin al-ukhuwwah wal mahabbah (persaudaraan dan kasih
sayang) yang menembus batas-batas suku, bangsa, warna kulit, asal tanah-air dan
bahasa. Itulah ukhuwah Islamiyyah yang terpancar dari ikatan aqidah.
Jagalah Ukhuwah Wahai Para Ikhwah
Namun memang, ada hal yang boleh merosak dan memperlemah ikatan
aqidah itu sendiri yakni hilangnya rasa ukhuwah di antara para ikhwah. Hal ini berlaku
diatas faktor urusan peribadi ataupun hal individu. Namun sejatinya, ketika
seseorang memahami makna dari sebuah ikatan aqidah itu sendiri maka sejatinya
ia faham bahwa ukhuwah merupakan satu diantara pilar-pilar yang memperkokoh
ikatan aqidah itu sendiri. Terkadang kita menyaksikan para ikhwah yang saling
caci ataupun cerca ketika berdiskusi, yang tadi nya ingin mencari kebenaran
maka beralih untuk mencari pembenaran akan pendapat masing-masing.
Dalam diskusi tentang dakwah, berdiskusi dengan harokah dakwah
lain. Adakah kita telah berdiskusi secara ahsan? Adakah kita telah berdiskusi
dalam rangka mencari kebenaran, bukan mencari pembenaran? adakah diskusi yang kita
lakukan tidak dalam membuka aib lawan diskusi kita karena telah kalah hujjah?
Sebagaimana kata seorang ikhwah :
“ketidakmilikan hujjah seseorang dalam berdiskusi, maka orang
tersebut akan akan menyerang dari sisi selain hujjah lawan diskusinya”
Atau tatkala kita membuka aib saudara kita sesama muslim hanya
karena faktor ketidaksukaan kita kepadanya. Na’udzubillahi mindzalik.
Ingatlah sabda Nabi kita Muhammad saw: “Siapa yang merasa pernah
berbuat aniaya kepada saudaranya, baik berupa kehormatan badan atau harta atau
lain-lainnya, hendaknya segera meminta halal (maaf) nya sekarang juga, sebelum
datang suatu hari yang tiada harta dan dinar atau dirham, jika ia punya amal
shalih, maka akan diambil menurut penganiayannya, dan jika tidak mempunyai
hasanat (kebaikan), maka diambilkan dari kejahatan orang yang dia aniaya untuk
ditanggungkan kepadanya.” [HR. Bukhari
.
Semua orang tentu mempunyai aib. Dan tentu pula ia tidak mau orang
lain tahu akan aib yang dimiliki. Boleh dibayangkan jika orang tersebut aibnya dibuka
oleh orang lain, diceritakan dibelakang dia, atau semisal ditayangkan di
televise sebagaimana hiburan infotainment di TV. Padahal Allah SWT menyuruh
kita untuk menutupi aib saudara kita sendiri.
“Barang siapa melepaskan seorang mukmin dari kesusahan hidup di
dunia, niscaya Allah akan melepaskan darinya kesusahan di hari kiamat, barang
siapa memudahkan urusan (mukmin) yang sulit niscaya Allah akan memudahkan
urusannya di dunia dan akhirat. Barang siapa menutup aib seorang muslim, maka
Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan menolong seorang
hamba, selama hamba itu senantiasa menolong saudaranya. Barang siapa menempuh
perjalanan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju
surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah untuk membaca
Kitabullah dan mempelajarinya bersama-sama, melainkan akan turun kepada mereka
ketenteraman, rahmat Allah akan menyelimuti mereka, dan Allah memuji mereka di
hadapan (para malaikat) yang berada di sisi-Nya. Barang siapa amalnya lambat,
maka tidak akan disempurnakan oleh kemuliaan nasabnya.” (HR Muslim)
Maka, berfikirlah sebelum berkata, berfikirlah sebelum berbuat.
Bayangkan bahwa dia adalah kita. Posisikan kita sebagai dia. Posisikan kita
yang aibnya di buka ataupun perasaannya di sakiti tatkala kita melontarkan
perkataan atau kalimat yang itu membuat hati disakiti.
Bagi para hamilud dakwah, berdakwahlah dengan cara yang makruf.
Bukan hanya berusaha menjaga perasaan hati para mad’u kita, namun juga menjaga
perasaan saudara kita walaupun berbeda harokah dakwah. Berfikirlah sebelum
berkata, dan berfikirlah sebelum berbuat.
Dalam sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Imam at-Tirmidzi
dijelaskan bahwa kunci untuk meraih keluhuran jiwa adalah menjaga lisan. Mu’adz
ra berkata, Saya bertanya kepada Rasulullah,
“Wahai Rasulullah beritahukan kepada saya amal perbuatan yang dapat
memasukkan saya ke dalam sorga dan menjauhkan dari neraka?” Beliau bersabda:
“Kamu benar-benar menanyakansesuatu yang sangat besar. Sesungguhnya hal itu
sangat mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah SWT, yaitu: Hendaklah kamu
menyembah kepada Allah dengan tidak menyekutukanNya dengan sesuatuapapun,
mendirikansholat, membayar zakat, puasa di bulan Ramadlan, dan berhaji ke
Baitullah bila kamu mampu menempuh perjalanannya.”
Selanjutnya, beliau bersabda, “Maukah engkau aku tunjukkan
pintu-pintu kebaikan? Puasa itu adalah perisai, shadaqah dapat menghilangkan
dosa seperti halnya air memadamkan api, dan sholat seseorang pada tengah
malam.” Beliau lantas membaca ayat yang artinya, “Lambung mereka jauh dari
tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan
penuh harap, serta mereka menafkahkan sebagian rizki yang telah Kamiberikan
kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk
mereka, yaitu bermacam-macam nikmat yang menyenangkan pandangan mata sebagai
balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
Lalu, beliau bertanya kembali, “Maukah engkau aku tunjukkan pokok
dan tiang dari segala sesuatu dan puncak keluhuran?” Saya berkata, “Baiklah ya
Rasulullah.”
Rasulullah Saw berkata, “Pokok segala sesuatu adalah Islam, tiangnya adalah sholat, dan puncak keluhurannya adalah berjuang di jalan Allah.”Kemudian beliau bersabda, “Maukah kamu aku tunjukkantentang kunci dari kesemuanya itu?” Saya menjawab, “Tentu ya Rasulullah.”Beliau lantas memegang lidahnya seraya berkata, “Peliharalah ini.” Saya berkata, “Ya Rasulullah, apakah kami akan dituntut atas apa yang kami katakan?” Beliau bersabda “Celaka kamu, bukankah wajah manusia tersungkur ke dalam neraka, tidak lain karena akibat lidah mereka?” [HR. at-Tirmidzi].
Rasulullah Saw berkata, “Pokok segala sesuatu adalah Islam, tiangnya adalah sholat, dan puncak keluhurannya adalah berjuang di jalan Allah.”Kemudian beliau bersabda, “Maukah kamu aku tunjukkantentang kunci dari kesemuanya itu?” Saya menjawab, “Tentu ya Rasulullah.”Beliau lantas memegang lidahnya seraya berkata, “Peliharalah ini.” Saya berkata, “Ya Rasulullah, apakah kami akan dituntut atas apa yang kami katakan?” Beliau bersabda “Celaka kamu, bukankah wajah manusia tersungkur ke dalam neraka, tidak lain karena akibat lidah mereka?” [HR. at-Tirmidzi].
Mengambil Ibrah Dari Sahabat Rasulullah saw
Dahulu, dua sahabat Rasulullah saw. pernah bertengkar keras.
Abu Dzar al-Ghifari ra. pun sampai kelepasan menyebut Bilal ra. sebagai anak si
hitam. Ketika Rasulullah saw. menegurnya dengan keras, barulah Abu Dzar
ra. menyesal bukan kepalang, hingga ia taruh pipinya di atas tanah dan minta
Bilal ra. menginjak wajahnya asalkan ia boleh memaafkannya. Pada akhirnya
Bilal ra. tak pernah menginjak wajah saudaranya, dan cerita itu berakhir dengan
bahagia. Hal-hal yang kita anggap, tidak profesional dan tidak perlu
dilakukan oleh para aktivis dakwah pun pernah terjadi pada generasi sahabat
Rasulullah saw. Ingatkah bagaimana Nabi Musa as. dikuasai oleh amarah
kepada kaumnya hingga ia menarik rambut Nabi Harun as.? Demikianlah
amarah sesaat bisa membuat segala bangunan ukhuwwah yang sudah dibangun lama
menjadi rosak. Kesannya boleh dijadikan permainan bila tidak segera ditanggulangi.
Sudahkah Anda mendengar kisah pertengkaran dua orang sahabat paling
mulia, yaitu Abu Bakar ra. dan ‘Umar ra.? Suatu hari Abu Bakar ra. datang
kepada Rasulullah saw. dan langsung duduk merapat dengannya. Ia bercerita
bahwa antara dirinya dan ‘Umar ra. baru saja terjadi pertengkaran. Ia
terlanjur marah dan kemudian menyesal.
Permintaan maafnya ditolak oleh ‘Umar ra., maka Abu Bakar ra. pun
mengadu pada Rasulullah saw. Beliau menenangkan Abu Bakar ra. dengan
mengatakan bahwa Allah telah mengampuninya. Setelah Abu Bakar ra. pergi,
datanglah ‘Umar ra. menemui Rasulullah saw. yang saat itu sedang menyimpan
amarah sehingga nampak jelas pada wajahnya. Beginilah ucapan Rasulullah
saw. saat itu: “Sesungguhnya Allah mengutus aku kepada kalian, dan kalian
mengatakan ‘Kamu pendusta’, sedangkan Abu Bakar mengatakan ‘Dia orang yang
jujur’, dan dia mengorbankan diri dan hartanya!” Sadarlah ‘Umar ra. akan
kesalahannya karena telah memperpanjang perselisihan dengan sahabat yang paling
dicintai Rasulullah saw. Setelah itu, Abu Bakar ra. tak pernah disakiti
lagi.
“Sesungguhnya orang2 mukmin adalah bersaudara. Oleh karena
itu,damaikanlah diantara kedua saudaramu dan bertaqwalah kpd Allah agar km
mendapat Rahmat.”(T.Q.S Al hujurat 49:10)
No comments:
Post a Comment